RADAR TEGAL – Di area pemakaman Gunung Kawi pada Desa Wonosari, Kabupaten Malang terdapat sebuah wisata religi yang sangat populer. Salah satu makam yang memiliki daya tarik adalah Mbah Jugo, seorang tokoh karismatik.
Mbah Jugo semasa hidupnya sangat dihormati, dan terus begitu sampai saat ini. Bukan hanya oleh masyarakat Jawa, melainkan orang Indonesia peranakan Cina juga rajin mendatangi makam orang terkenal ini.
Banyak masyarakat yang berziarah ke makam Mbah Jugo, terutama saat liburan panjang, atau hari pasaran seperti jumat legi, senin pahing, satu suro, dan pada tahun baru.
Berbagai motif peziarah juga beragam, ada yang hanya ingin mendoakan para mendiang, sekedar berwisata, atau mayoritas pengunjung memiliki permohonan agar doanya terkabul.
Kisah hidup Mbah Jugo sangat unik dan dekat dengan keturunan peranakan Tionghoa.
BACA JUGA: Menikmati Keeksotisan Kota Tua di Tegal Sambil Menjelajah Bangunan Bersejarah
Pertemuan Mbah Jago dengan Tan Giok Tjwa
Pada sebuah kisah Tan Giok Tjwa datang ke padepokan Mbah Jugo karena mengikuti temannya. Tentunya Mbah Jugo menyambut dengan ramah dan ia berkata “Akhirnya engkau datang juga anakku” dan membuat Giok terheran.
Tan Giok akhirnya mengingat cerita ibunya tentang seorang pendatang yang pernah membantu ekonomi keluarganya. Saat sebelum pergi, pendatang tersebut mengangkat Tan sebagai putranya dan setelah besar meminta untuk ditemui.
Singkat cerita, akhirnya Giok dapat bertemu dengan ayah angkatnya dan sempat tinggal bersama dalam beberapa waktu. Kemudian selang waktu, namanya berubah menjadi Ki Djan.
Ki Djan membangun rumah berdoa yang bergaya arsitektur China, yang saat ini mendapat kunjungan dari berbagai orang di Kawi.
Mbah Jugo seorang keturunan Keraton Kartasura
Mbah Jugo juga memiliki nama sebagai Mbah Kromodi Redjo yang masih memiliki darah bangsawan dari Mataram Kartasura abad ke-18.
Riwayat Mbah Jugo juga terdapat dalam surat keterangan pengageng Kantor Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta. Surat ini terdapat tanda tangan langsung Kanjeng Tumenggung Danuhadiningrat saat 23 Juni 1964.
Mbah Jugo disebut sebagai putra keturunan Kia Zakaria yang merupakan keturunan langsung Paku Buwono I dari Kerajaan Pajang, Penguasa Tersebut memiliki orang bernama Raden Mas Suryokusumo
BACA JUGA: Jalan-Jalan Ke 4 Bangunan Bersejarah di Kota Tegal Ini Yuk!
Awal mula Mbah Jugo tinggal di kandang sapi
Saat itu Desa Jugo masih sangat sepi dan sebagian besar hanya dihuni oleh hewan seperti ular, monyet, macan, dan lainnya.
Di antara rimbunnya hutan, terdapat sebuah padang ilalang yang biasa penduduk menggembalakan hewan mereka.
Pada suatu hari seorang penggembala kecil sedang mengawasi hewan peliharaannya di padang ilalang dan tiba-tiba keluar seorang lelaki tua dari hutan.
Lelaki tua itu hanya diam dan kembali masuk ke hutan. Hingga selang beberapa hari, ia muncul lagi dan berjalan ke arah kandang sapi tidak terpakai.
Kandang sapi tersebut sebenarnya milik penduduk Desa Jugo yang ditinggalkan karena banyak binatang buas memangsa hewan ternak mereka.
Penduduk desa juga tidak menghiraukan kedatangan lelaki tua tersebut dan membiarkannya untuk tinggal di sana. Para penduduk desa sudah menduga bahwa ia adalah orang terhormat.
Sampai akhirnya terdapat peristiwa kedatangan dua orang bangsawan yang mencari Panembahan Jugo. Dari sanalah identitas Mbah Jugo mulai terungkap dan semakin penduduk hormati.
Berhasil mengatasi wabah kolera
Mbah Jago termasuk salah satu orang yang melakukan dakwah. Tidak hanya itu, ia mengajarkan ajaran moral. bercocok tanam yang benar, dan mengajari keterampilan lain untuk masyarakat agar berguna.
Karena dedikasinya tersebut, nama Mbah Jugo masih harum hingga hari ini dan sangat terkenal.
Selain itu, Mbah Jugo juga memiliki kemampuan untuk mengobati sakit. Salah satunya di tahun 1860-an, di wilayah Pulau Jawa terdapat serangan kolera.
Berbagai korban berjatuhan dan tidak terhitung banyaknya akibat wabah kolera yang menyeramkan. Tragedi inilah yang masyarakat Jawa sebut sebagai pagebluk.
Pada masa kepanikan ini, warga desa mendatangi Mbah Jugo untuk meminta pertolongannya. Mbah Jugo berusaha membuat para warga tenang, dan meminta mereka untuk datang.
Sedangkan bagi penderita yang tidak mampu bergerak, ia menitipkan air doa yang ampuh mengatasi penyakit kolera. Karena keilmuannya ini, Mbah Jugo berhasil mengatasi wabah kolera di tanah Jawa.
Seorang Bupati Blitar juga meminta tolong Mbah Jugo untuk mengobati penyakit kolera yang terjadi di wilayahnya. Karena berhasil, ia mendapatkan tanah seluas 7 hektar yang bebas pajak.
Mbah Jugo tidak bisa menolak hadiah tersebut, lalu memutuskan untuk membuat sebuah padepokan sekaligus tempat tinggalnya hingga akhir hayat.
Sebelum wafat, tokoh berjasa ini beramanah agar ia dikebumikan di Wonosari, lereng Gunung Kawi. Ia wafat pada 22 Januari 1871 di Blitar. Lalu padepokannya ditempati oleh para muridnya, yakni Ki Tasiman, Ki Dawud, dan lainnya.***
