Oleh: Dahlan Iskan
INILAH Natal gelap bagi Sahat Tua Simanjuntak: jadi tahanan KPK di Jakarta. Tahun baru nanti juga gelap bagi wakil ketua DPRD Jatim dari Golkar ini.
Yang menarik: kok peristiwa seperti ini terjadi lagi. Padahal dua periode lalu sudah ada yang kena tangkap. Di kasus yang sama. Yang ditangkap waktu itu: Ketua DPRD Jatim KH Fathorrasjid. Dari PKB.
Periode lalu, juga ada yang ditangkap. Di Sumut. Di perkara yang sama. Bahkan, yang ditangkap itu hampir semua anggota DPRD Sumut. Mulai ketua sampai anggota.
Pun di DPRD Kota Surabaya. Enam orang terdiri dari pimpinan dan anggota DPRD ditangkap. Diadili. Masuk penjara. Hanya satu yang dinyatakan bebas: Ratih Retnowati, dari Partai Demokrat.
Pokok pangkalnya sama: dana jaring aspirasi masyarakat. Akronimnya Jasmas. Nama bisa beda. Tergantung daerah dan tahun berapa. Pada zaman Fathorrasjid dulu namanya panjang: Program Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat. Disingkat P2SEM.
Anggota DPRD itu, di mana-mana, ternyata terbelit masyarakat. Atau membelit masyarakat. Mereka merasa harus memberi sesuatu kepada masyarakat yang memilih. Bisa uang, bisa proyek.
Mereka juga tahu. Mirip iri: pejabat di eksekutif itu punya proyek. Mereka bisa dapat uang dari proyek. Padahal kedudukan mereka sama: sama-sama bagian dari Pemda. Mengapa hanya eksekutif yang bisa dapat uang dari proyek. Berarti anggota DPRD juga harus dapat proyek. Dan bisa dapat uang dari proyek.
Dulu soal iri itu diselesaikan lewat sogokan. Eksekutif menyogok legislatif. Tapi nyogok anggota DPRD itu sudah dianggap kuno. Juga gampang ketahuan. Maka dicarikanlah jalan memutar. Yang penting tujuannya sama: dapat uang.
Mungkin ada sahabat Disway yang tahu sejarah: siapa penemu Jasmas ini. Ia kreatif sekali –dalam menciptakan peluang. Saya juga ingin tahu: tahun berapa Jasmas didirikan. Pernah ganti nama apa saja. Eksistensi Jasmas ini begitu kuat. Kukuh. Seperti bangunan yang menggunakan Semen Padang.
Nama Jasmas pun keren: jaring aspirasi masyarakat. Di bulan tertentu DPRD memang istirahat sidang. Anggota dewan memasuki masa reses. Teorinya, masa reses dipergunakan untuk mengunjungi daerah yang memilihnya. Anggota dewan menemui rakyat yang diwakili. Yakni, teorinya, untuk menyerap aspirasi masyarakat.
Anggota dewan dapat anggaran perjalanan untuk berkunjung ke daerah pemilihannya itu. Tidak harus ada laporan pertanggungjawaban: apakah ia/dia benar-benar melakukan perjalanan atau tidak.
Aspirasi masyarakat tersebut dicatat oleh anggota dewan. Lalu dibuatlah proposal proyek. Yang membuat bisa masyarakat sendiri. Bisa juga anggota dewan. Bahkan sering juga proposal itu dibikinkan pihak ketiga.
Proposal itulah yang diajukan ke Pemda. Lalu dimasukkan ke rencana anggaran (RAPBD). Rencana anggaran itu dibahas bersama antara Pemda dan DPRD.
Kalau proposal hasil serap aspirasi itu tidak dimasukkan bisa jadi RAPBD tidak disahkan. Pengesahan APBD itu biasanya terjadi di bulan November. Berarti, untuk APBD tahun 2023 sudah disahkan bulan lalu.
Karena sudah disahkan, maka anggota DPRD sudah tahu bahwa usulannya sudah masuk APBD. Berarti sudah pasti sudah disediakan anggarannya. Tinggal tunggu pelaksanaan proyek di tahun 2023.
Sahat Simanjuntak itu misalnya, ia sudah tahu: berapa puluh miliar nilai proyek usulannya yang sudah masuk APBD. Ia bisa dapat uang dari situ. Untuk modal ikut Pemilu yang keempat kalinya 2024 nanti.
Uang tahun 2023 itulah yang diincar, agar bisa didapat lebih awal. Maka dicarilah siapa yang bisa membayar lebih dulu: 20 persen dari nilai proyek.
Sahat sendiri sebenarnya dipilih oleh rakyat Ngawi-Magetan-Ponorogo, Pacitan-Trenggalek. Tapi karena ia wakil ketua, wilayah proyeknya lebih luas dari dapilnya. Maka jangan heran kalau proyek wakil rakyat Ngawi ini ada di Sampang, Madura. Proyek di Sampang inilah yang membuat Sahat ditangkap.
Fathorrasjid dulu sebenarnya lebih halus. Ia dapat uang Jasmas dari selisih harga barang. Tidak sampai ijon seperti Sahat. Hebatnya, Fathorrasjid tidak “menggigit” pimpinan atau anggota DPRD yang lain. Semua ia akui sendiri. Anggota yang lain pun selamat. Atau mereka bisa cari selamat dengan cara masing-masing. Atau dengan cara terkoordinasi.
Fathorrasjid menjalani hukuman 4 tahun penjara. Begitu keluar penjara ia bisa bebas selama-lamanya: ia meninggal dunia.
Meski bisa menyelamatkan semua anggota DPRD Jatim, Fathorrasjid tidak bisa menyelamatkan dua orang dokter: dokter Bagoes Soetjipto dan dokter I Komang Ivan Bernawan. Nama dua dokter terlibat karena ada di proposal proyek.
Dokter Bagoes ketakutan. Ia lari ke Malaysia. Di sana bersembunyi. Lama-lama buka praktik. Ketahuan. Ditangkap. Dibawa pulang ke Indonesia. Ia langsung dimasukkan penjara di Porong. Ia dihukum 28 tahun tanpa bisa membela. Hukuman itu dijatuhkan in absentia: saat ia dalam pelarian.
Dokter Bagoes bebas lebih cepat dari hukumannya. Ahli penyakit dalam itu meninggal di penjara. Yakni menjelang wabah Covid-19 lalu.
Tinggal dokter Komang yang masih harus lebih sabar menjalani sisa hukuman Jasmasnya.
Jangan-jangan tinggal di Jatim proyek model Jasmas ini masih eksis. Di kota Surabaya sendiri sudah dihapus. Sejak terjadi kasus Jasmas APBD 2016 lalu (terbongkar 2018), jenis anggaran itu dihilangkan. Wali kota (waktu itu) Bu Risma menghentikan Jasmas. Proses jaring aspirasi diganti dengan Musrenbang (musyawarah rencana pembangunan). RT/RW mengusulkan proyek ke lurah. Lurah ke Camat. Camat ke wali kota.
Apakah Jasmas di provinsi Jatim juga akan dihapus? Lalu dari mana anggota DPRD Jatim dapat uang?
Selama ini penghasilan anggota DPRD Jatim sekitar Rp 100 juta/bulan/orang. Kalau unsur pimpinan masih ada tambahannya lagi. Pimpinan apa pun: pimpinan fraksi, komisi, panitia anggaran, pun sampai pimpinan dewan.
Gaji Rp 100 juta itu dianggap tidak cukup. Mereka harus memberi uang ke pemilih. Belum lagi uang saksi di TPS-TPS nanti.
Sahabat Disway yang baru saja bebas dari penjara mengusulkan agar Jasmas dihapus. Itu tidak sehat. Betapa besar anggaran yang menguap.
“Katakanlah yang masuk jadi uang komisi anggota DPRD 30 persen dari nilai proyek. Yang 70 persennya pun belum tentu proyeknya ada,” ujarnya.
Kalau Jasmas dihapus dari mana dapat tambahan uang?
“Naikkan saja penghasilan anggota DPRD. Jadi Rp 200 juta,” katanya. “Besar tapi legal,” tambahnya.
Semua anggota DPRD mungkin setuju dengan usul itu. Hanya rakyat yang mungkin akan keberatan. Tapi apalah arti rakyat. Toh sudah mewakilkannya ke mereka. Atau sekali-kali giliran rakyat memikirkan wakilnya: bagaimana agar penghasilan mereka lebih besar lagi. (*)