RADAR TEGAL – Di Indonesia, khususnya Jawa, yang memiliki kepercayaan akan mitos dan makhluk gaib, masyarakat juga percaya pada hewan mitologi. Salah satu hewan mitologi Jawa adalah Warak Ngendong.
Warak Ngendog adalah hewan yang berbentuk kepala seperti naga, tetapi badan dan kaki empat seperti kambing. Uniknya, hewan mitologi ini menjadi simbol perpaduan antara tiga kebudayaan, yaitu dari etnis Jawa, Arab, dan Tionghoa.
Selain simbol persatuan masyarakat dari tiga etnis, Warak Ngendog juga menjadi salah satu ikon Kota Semarang. Monumennya bisa ditemukan di Jalan Panandaran, Mugassari, Semarang Selatan.
BACA JUGA: Seram! Mitos Naga Cerek yang Jadi Ritual Pesugihan dengan Tumbal Nyawa
Akulturasi budaya sejak zaman Kesultanan Demak
Warak Ngendog berasal dari bahasa Arab dan bahasa Jawa. Warak dalam bahasa Arab berarti suci. Sedangkan ngendog dalam bhasa Jawa berarti bertelur. Maknanya secara simbolis adalah ajaran menjaga kesucian di bulan mendatang.
Bulan mendatang yang dimaksudkan adalah bulan suci Ramadhan. Menurut mitosnya, hewan mitologi ini ada semenjak kepemimpinan Ki Ageng Pandan Arang, anak sultan kedua Kerajaan Demak. Ki Ageng Pangandaran sendiri adalah seorang pendiri Kota Semarang.
Pendapat lain mengatakan bahwa hewan mitologi ini adalah bentuk perpaduan budaya pada masa penyebaran Islam di Semarang. Ki Ageng Pangandaran dalam versi ini merupakan seorang pedagang dari Timur Tengah yang menyebarkan Islam di Semarang.
BACA JUGA: Mitos Hantu Pok-Pok di Sulawesi, Wujud Pengguna Ilmu Hitam
Warak Ngendog dalam perayaan Dugderan
Di zaman sekarang, Warak Ngendog menjadi salah satu unsur dalam perayaan menyambut bulan Ramadhan. Perayaan ini bernama Dugderan, sebuah perayaan di Pasar Johar di jantung Semarang. Isi perayaan ini adalah kegiatan pasar rakyat.
Perayaan ini berlangsung selama seminggu sebelum bulan Ramadhan. Kegiatan yang berlangsung antara lain kirab, drumband, pertunjukkan tradisional, dan berbagai kesenian lainnya.
Keberadaan Warak Ngendog ini menjadi salah satu ikon unik di Kota Semarang. Sebagai simbol akulturasi, hewan mitologi ini telah menjadi persatuan kebudayaan dalam masyarakat yang unik.***