RADAR TEGAL- Pernikahan dini yang marak terjadi di tahun-tahun terakhir menjadi sorotan publik saat ini. Hal ini tidak lepas dari viralnya ratusan siswa Ponorogo yang mengajukan dispensasi kawin.
Selain alasan hamil di luar nikah, pernikahan di bawah umur kerap terjadi karena alasan ekonomi dan keluar dari kemiskinan.
Berdasarkan analisa data perkawinan usia anak di Indonesia, ada berbagai dampak negatif yang dapat terjadi pada sebuah pernikahan usia anak.
Ini merupakan hasil kerja sama BPS dan United Nations Children’s Fund (UNICEF). Dampak bagi anak perempuan, mereka akan mengalami sejumlah hal dari pernikahan di usia dini.
BACA JUGA: Viral Ratusan Siswa di Ponorogo Ajukan Dispensasi Kawin, Ternyata Ini Penyebabnya
Pertama, tercurinya hak seorang anak. Hak-hak itu antara lain hak pendidikan, hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan pelecehan. Hak kesehatan, hak dilindungi dari eksploitasi, dan hak tidak dipisahkan dari orangtua.
Berkaitan dengan hilangnya hak kesehatan, seorang anak yang menikah di usia dini memiliki risiko kematian saat melahirkan. Risikonya lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang sudah cukup umur.
Risiko ini bisa mencapai lima kali lipatnya. Selanjutnya, seorang anak perempuan yang menikah akan mengalami sejumlah persoalan psikologis seperti cemas, depresi, bahkan keinginan untuk bunuh diri.
Di usia yang masih muda, anak-anak ini belum memiliki status dan kekuasaan di dalam masyarakat. Mereka masih terkungkung untuk mengontrol diri sendiri.
BACA JUGA: Alami KDRT, Ini Hal yang Perlu Anda Lakukan
Terakhir, pengetahuan seksualitas yang masih rendah meningkatkan risiko terkena penyakit infeksi menular seperti HIV.
Tidak hanya pelaku pernikahan usia dini, beberapa risiko juga mengancam anak-anak yang nantinya lahir dari hubungan kedua orangtuanya yang menikah di bawah umur.
Belum matangnya usia sang ibu, mendatangkan konsekuensi tertentu pada si calon anak. Misalnya, angka risiko kematian bayi lebih besar. Bayi lahir dalam keadaan prematur, kurang gizi, dan anak berisiko terkena hambatan pertumbuhan atau stunting.
Tiga provinsi yang memiliki persentase pernikahan anak tertinggi di Indonesia adalah Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kepulauan Bangka Belitung.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), angka perkawinan anak di atas 10 persen merata tersebar di seluruh provinsi Indonesia.
Sementara, sebaran angka perkawinan anak di atas 25 persen berada di 23 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia.
Akumulasinya, 67 persen wilayah di Indonesia darurat perkawinan anak. Angkanya di atas 37 persen.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat (1), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. (*)