Mereka kesulitan dalam mencari kos-kosan karena tidak ada yang mau menerima orang Papua. Selain itu ada juga oknum yang mengatakan bahwa orang Papua memiliki aroma badan yang kurang wangi. Sehingga mereka seringkali melihat mahasiswa di kampus sering menutup hidungnya saat mahasiswa asal Papua lewat.
Mengutip dari artikel Indoprogress.com mengenai Papua, pada tanggal 26 Oktober 2016 di sanggeng Manokwari, Papua Barat, terjadi kontak senjata yang mengakibatkan seorang laki-laki Papua tewas terkena peluru. Kasus lainnya adalah hak berbicara dan berpendapat dalam bentuk dialog dengan Jakarta terkait masalah Papua tidak diberikan kesempatan.
Ruang dialog tersebut justru dianggap sebagai suatu Gerakan pemberontakan yang harus diselesaikan dengan peluru oleh apparat terhadap orang Papua. Tindakan intoleran biasanya dalam bentuk larangan atau tekanan terhadap bentuk-bentuk material seperti makanan dan cara berpakaian.
Bisa juga dalam bentuk larangan mengenai kebiasaan, agama, atau budaya yang berlanjut hingga menjadi diskriminasi dan intoleransi. Tindakan yang bisa lebih parah dari itu adalah tindakan kekerasan seperti menggusur, menyerang, dan menyiksa. Hal ini yang terjadi pada peristiwa rasisme yang dilakukan apparat setempat terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.
Sikap apparat terhadap warga negara di sekitarnya menunjukkan bahwa mereka seakan-akan memiliki derajat lebih tinggi sehingga bertindak sewenang-wenangnya. Belum lagi jika berbicara tentang agama dan keyakinan. Indonesia sebagai negara yang mayoritas warga negaranya beragama islam menjadi sensitif dengan hal-hal yang berhubungan dengan non-islam.
Apalagi warga Papua yang mayoritas beragama non-islam. Pluralisme dibutuhkan dalam hal ini supaya menjadi sarana bagi manusia agar tidak menimbulkan konflik. Pluralisme merupakan paham yang menghargai adanya perbedaan dalam suatu masyarakat dan memperbolehkan kelompok yang berbeda terebut untuk menjaga keunikan budayanya masing-masing.
3. Rasisme yang dirasakan orang Papua
Pada tahun 2016, di Yogyakarta, salah seorang mahasiswa Papua ditangkap paksa, asrama mereka dikepung organisasi masyarakat dan mahasiswanya dikriminalisasi. Peristiwa ini terjadi saat mahasiswa Papua akan menyuarakan aspirasinya di jalan dalam rangka menyuarakan isu ras Melanesia.
Akan tetapi aksi tersebut dhentikan oleh aparat keamanan dan ormas. Polisi menangkap salah satu mahasiswa Papua bernama Obby Kogoya. Ia diperlakukan tidak manusiawi oleh polisi. Tubuhnya dibanting, lehernya diapit siku, dan lubang hidungnya dimasuki dua jari polisi kemudian ditarik.
Ia mengaduh kesakitan. Peritiwa tersebut berhasil diabadikan oleh seorang jurnalis yang kemudian tersebar luas di sosial media. Akan tetapi pihak kepolisian menyatakan bahwa tidak ada kerusuhan apapun dan juga menyangkal mengenai foto yang sudah tersebar, mereka mengatakan itu adalah hoaks.
Pada tahun 2017, terjadi pembubaran aksi demontarsi dan diskusi-diskusi yang sedang diadakan oleh mahasiswa Papua. Aksi demonstrasi peringatan hari kedaulatan Papua di Jakarta dilarang oleh polisi. Berkat hasil negosiasi, demonstrasi itu akhirnya dapat tetap berjalan dengan dijaga oleh 400 personel polisi dan tiga mobil rumah tahanan.
Adapun kisah rasisme lain yang pernah dialami mahasiswa Papua yang kuliah di Jawa adalah adanya perbedaan antara mahasiswa Papua dan Jakarta. Mahasiswa Papua mengalami kesulitan ketika mencari kamar kos. Selain itu, sikap rasisme yang pernah di alami mahasiswa Papua lainnya adalah ketika mereka berbelanja di toko.
