:

Persoalan Diskriminasi dan Rasisme yang Sering Diterima Masyarakat Papua


Diskriminasi

Perlakuan-perlakuan dari orang non Papua terhadap orang Papua sangat menjadi perhatian. Karena sering sekali mereka mendapat tindakan intoleran hingga rasialisme. Seperti contoh kejadian yang dialami mahasiswa Papua yang merantau ke Jakarta untuk kuliah.

Mereka banyak yang kesulitan untuk mencari kos-kosan karena banyak kos-kosan yang tidak menerima orang Papua. Perlakuan lainnya yang kurang baik adalah ketika ada yang mengatakan bahwa orang Papua memiliki aroma badan yang kurang enak. Sehingga mereka sering menutup hidungnya saat mahasiswa asal Papua lewat.

Respon penduduk Papua terhadap nama Papua sendiri cukup baik, di mana nama Papua mencerminkan identitas diri mereka sebagai manusia hitam, keriting, yang sangat berbeda dengan penduduk bangsa Indonesia lainnya. Namun, respon ini bertolak belakang dengan respon orang-orang non Papua.

Mereka malah mengejek dan memaknai nama Papua sebagai bentuk ejekan terhadap warga setempat yang primitif tertinggal dan merupakan slogan yang tidak memiliki arti apapun. Sikap atau tindakan-tindakan merendahkan dengan menggunakan ciri-ciri fisik sebagai bahan pembeda termasuk dalam kategori etnosentrisme.

Sikap merasa diri sendiri lebih baik dari orang lain. Termasuk halnya dalam warna kulit, warga berkulit hitam seringkali mendapat perlakuan berbeda dari warga yang berkulit putih. Tindakan intoleransi bisa saja dalam bentuk larangan atau tekanan terhadap bentuk-bentuk material, seperti makanan dan cara berpakaian.

Termasuk juga larangan mengenai kebiasaan, agama atau budaya yang berlanjut hingga menjadi diskriminasi dan intoleransi. Dan yang lebih parah jika sampai pada tindakan kekerasan seperti menggusur, menyerang, dan menyiksa. Apalagi jika sudah membicarakan ranah agama dan keyakinan. Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya yang beragama Islam.

Sehingga seringkali sensitif akan hal-hal yang berhubungan dengan non-Islam. Sedangkan warga Papua sendiri mayoritas merupakan non-Islam. Gusdur sebagai tokoh pluralisme di Indonesia mengatakan bahwa pluralisme tidak seharusnya menjadi sumber konflik. Melainkan pluralisme seharusnya menjadi sarana bagi manusia untuk memahami anugerah Tuhan, agar tercipta toleransi dan harmoni di tengah kehidupan.

Telah diketahui bahwa Orang Papua sudah sejak lama mengalami perilaku diskriminatif dan rasial di Indonesia. Dimulai dari sejak proses persiapan hingga pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (Pepera) 1969. Rakyat Papua sejak itu sudah menerima tindakan diskriminasi rasial dalam berbagai bentuk kekerasan rasial, pembunuhan, intimidasi, pembungkaman, dan pembatasan oleh militer Indonesia.

Rasisme tentu saja tidak sejalan dengan semboyan bangsa kita yaitu Bhineka Tunggal Ika. Semboyan Bhineka Tunggal Ika merupakan simbol yang menggambarkan adanya keanekaragaman dan keanekaragaman tersebut dapat membentuk kemajemukan. Kasus Rasisme juga tidak sejalan dengan pedoman bangsa Indonesia yaitu Pancasila.

Rasisme tidak mencerminkan wujud kemanusiaan dan keadilan sosial, sebagaimana yang tertuang dalam Pancasila sila ke-2 “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, serta sila ke-5, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Menurut sila ke-2 sebagai manusia yang menganut agama, kita harus percaya bahwa semua manusia sama derajatnya di mata Tuhan.

Kita semua mempunyai hak dan kewajiban asasi yang sama tanpa dibeda-bedakan menurut suku, ras, keturunan, kedudukan sosial, jenis kelamin, dan sebagainya. Sedangkan menurut sila ke-5, Pancasila memberikan hak pada rakyat untuk mewujudkan tata masyarakat yang adil dan makmur. Sebagai rakyat Indonesia yang mengimplementasikan Pancasila, setiap warga negara harus dan wajib bersikap adil pada siapapun.

Ikuti Kami di

Tinggalkan Balasan